[24/05/19] Tentang Long Way Down Karya Jason Reynolds

ANOTHER THING ABOUT THE RULES
They weren't meant to be broken.
They were meant for the broken
to follow.

Informasi Buku 

Judul: Long Way Down
Penulis: Jason Reynolds
Penerbit: Atheneum/Caitlyn Dlouhy Books
ISBN:
9781481438278
Bulan/tahun publikasi: Oktober 2017
Jumlah halaman: 320 halaman
Buku: ebook dibaca via Scribd
Bahasa: Inggris
Kategori umur: young adult
Temukan buku ini di 
Goodreads


Blurb

A cannon. A strap.
A piece. A biscuit.
A burner. A heater.
A chopper. A gat.
A hammer
A tool
for RULE

Or, you can call it a gun. That’s what fifteen-year-old Will has shoved in the back waistband of his jeans. See, his brother Shawn was just murdered. And Will knows the rules. No crying. No snitching. Revenge. That’s where Will’s now heading, with that gun shoved in the back waistband of his jeans, the gun that was his brother’s gun. He gets on the elevator, seventh floor, stoked. He knows who he’s after. Or does he?

As the elevator stops on the sixth floor, on comes Buck. Buck, Will finds out, is who gave Shawn the gun before Will took the gun. Buck tells Will to check that the gun is even loaded. And that’s when Will sees that one bullet is missing. And the only one who could have fired Shawn’s gun was Shawn. Huh. Will didn’t know that Shawn had ever actually USED his gun. Bigger huh. BUCK IS DEAD. But Buck’s in the elevator?

Just as Will’s trying to think this through, the door to the next floor opens. A teenage girl gets on, waves away the smoke from Dead Buck’s cigarette. Will doesn’t know her, but she knew him. Knew. When they were eight. And stray bullets had cut through the playground, and Will had tried to cover her, but she was hit anyway, and so what she wants to know, on that fifth floor elevator stop, is, what if Will, Will with the gun shoved in the back waistband of his jeans, MISSES.

And so it goes, the whole long way down, as the elevator stops on each floor, and at each stop someone connected to his brother gets on to give Will a piece to a bigger story than the one he thinks he knows. A story that might never know an END…if Will gets off that elevator.

Told in short, fierce staccato narrative verse, Long Way Down is a fast and furious, dazzlingly brilliant look at teenage gun violence, as could only be told by Jason Reynolds.

Menurut Farah Tentang Buku Ini

Jason Reynolds baru berusia 19 tahun ketika menerima kabar bahwa seorang teman baik telah meninggalkan karena dibunuh. Dikuasai duka dan amarah, keinginan kuat untuk balas dendam sempat menyelimuti benak Reynolds. Keinginan ini untungnya urung terealisasi setelah Reynolds memilih untuk menghormati keinginan Ibu sang teman baik yang tidak ingin "ada Ibu lain yang merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan". Dikutip langsung dari wawancara Reynolds dengan NPR;
 "I'm grateful that we didn't do the thing that we thought we were going to do," Reynolds says. "When you start to sort of work through those things and you come back to reality ... you're, like, 'Whoa, my entire life could have changed.' "
Pengalaman personal ini menjadi pondasi Reynolds dalam menulis cerita pergulatan batin yang dialami Will dalam Long Way Down.

Setelah kehilangan Shawn, saudara laki-lakinya, Will yang berduka berusaha menjustifikasi keinginannya untuk balas dendam dengan dalih untuk mengikuti the rules (peraturan) yang berlaku di komunitas mereka;

        The Rules
No.1: Crying
Don’t.
No matter what.
Don’t.

No. 2: Snitching
Don’t.
No matter what.
Don’t.

No. 3: Revenge
Do.
No matter what.
Do.

 Akan tetapi, apa balas dendam memang adalah jawabannya?

Memutuskan untuk balas dendam setelah dimakan duka selama beberapa hari, dalam perjalanan turun Will pun mulai "berpapasan" dengan beberapa orang dari masa lalunya di atas elevator. Perjalanan turun dalam elevator yang sebenarnya cuma sebentar ini terasa begitu panjang (long way down) karena pergulatan batin yang dialami Will setelah berhadapan dengan "para hantu" dari masa lalunya ini.

Dalam Long Way Down, pembaca akan merasakan bagaimana rasa duka, marah, bingung, dan tak berdaya mehinggapi seorang pemuda yang sudah kehilangan banyak sosok berharga dalam hidupnya karena senjata api.

***

Meminjam langsung dari kata-kata Jason Reynolds, Long Way Down merupakan sebuah novel dalam bentuk bait (novel-in-verse). Pembaca tidak perlu mengalokasikan waktu terlalu banyak untuk menyelesaikan buku 320 halaman ini. Long Way Down boleh jadi merupakan persinggungan paling dekatku dengan genre poetry sejauh ini.

Sebagai seorang pembaca, aku memang belum terlalu relate dengan poetry yang memerlukan interpretasi dalam ketika dibaca. Aku merasa lebih nyaman ketika membaca prosa yang straight-forward dan berterus-terang. Reynolds merangkai cerita Will dalam Long Way Down dengan menggabungkan keindahan bait yang ditawarkan poetry dan kejelasan (clarity) ala sebuah prosa. Cara penulisan ini pun menghasilkan novel yang singkat, indah, penting, dan berpengaruh.

Novel dalam bentuk bait memang adalah deskripsi paling tepat untuk menggambarkan Long Way Down. Alih-alih menggunakan metafora tingkat tinggi yang membingungkan, metafora elevator/lift yang digunakan Reynolds terasa tepat dan tidak terlalu "abstrak" untuk dibayangkan pembaca. Metafora ini memberi gambaran tepat tentang pergolakan batin yang dialami oleh seseorang pemuda yang dibakar api dendam tapi juga merasa takut dan tidak berdaya di saat bersamaan.

Dalam perbincangannya dengan Mashable Asia, Reynolds menjelaskan alasan dibalik penggunaan elevator sebagai metafora dalam Long Way Down;
I am a consummate metaphor addict. In this book, because I chose to write it in verse, the natural inclination is to layer it. You can create all kinds of symbolism and metaphors that poetry and verse leans towards. So I wanted it to mimic what it feels like to be angry. What it feels like to be traumatized and pained. What it feels like is claustrophobia. It feels like is tightness and coldness, steel, jagged movements and vertigo. All the things that an elevator brings is what it feels like to be that angry.
***

Lewat Long Way Down, Reynolds berusaha menuturkan cerita yang merepresentasikan pengalaman/pergulatan sehari-hari yang dia dan banyak anak muda lain alami ketika tumbuh dan besar di lingkungan dimana kekerasan akibat senjata api (gun violence) adalah "makanan sehari-hari". Long Way Down juga berusaha meluruskan miskonsepsi dan klise tentang para anak muda yang akhirnya "tergoda" untuk melakukan balas dendam dalam lingkungan ini.

Alih-alih memotret mereka secara satu dimensi dan seolah tanpa rasa takut, Reynolds tidak melupakan bagaimana pemuda-pemuda ini juga merupakan manusia yang mengalami pergolakan batin nan kompleks. Pembaca yang menikmati Long Way Down dapat melihat sendiri bagaimana balas dendam sebenarnya bukanlah pilihan yang membawa kedamaian bagi karakter Will. Keputusan Will bahkan terkesan seperti keputusan yang diambil di puncak keputus-asa-an dan ketidak-berdayaan-nya.

***

Dalam perbincangannya dengan Los Angeles Review of Books, Reynolds sempat berbagi cerita tentang bagaimana di masa kecil dia sempat menjauh dari dunia sastra karena merasa "sebagian besar buku hanya berkisah tentang orang lain dan masalah mereka" dan Reynolds sulit untuk terhubung dengan buku-buku ini. Reynolds akhirnya mengesampingkan buku di usia 9 tahun sebelum akhirnya merangkul buku kembali di masa remajanya. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum Reynolds akhirnya menemukan "suaranya sendiri" dan memutuskan untuk berbagi cerita dari sudut pandang ini lewat Long Way Down dan karya-karyanya yang lain.

Sedikit banyaknya, aku bisa bersimpati dengan pergulatan Reynolds untuk menemukan representasi dalam dunia perbukuan. Mungkin ini kembali lagi pada impulse alami manusia untuk merasakan pengakuan atas eksistensinya. Menemukan buku yang "mewakili" suara dan pengalaman personalmu sebagai seorang individu memang adalah pengalaman memorable dan terasa begitu berharga. Aku boleh jadi sudah melahap berpuluh-puluh buku selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, baru segelintir buku saja yang mampu memuaskan harapanku untuk merasa "terwakili" dalam berbagai kisahnya. Representation matters indeed.

Alasan dibalik format Long Way Down yang merupakan perpaduan antara novel & poetry yang bisa dibaca dalam waktu singkat juga tidak jauh-jauh dari perkara representasi ini. Reynolds berharap bahwa format semacam ini dapat membuat sebagian besar orang yang dia ingin "representasikan" melalui kisah Will & pemuda-pemuda yang hidup di lingkungan lain, benar-benar membaca dan merasa terhubung dengan buku dan cerita ini. Reynolds juga berharap agar mereka bisa benar-benar merenungkan apa yang sebenarnya berusaha disampaikan dalam Long Way Down. Reynolds mengungkapkan hal ini dalam wawancaranya dengan NPR;

I need my young brothers who are living in these environments, I need the kids who are not living in these environments to have no excuses not to read the book. The truth of the matter is that I recognize that I write prose, and I love prose, and I want everybody to read prose, but I'm also not — I would never, sort of, deny the fact that like, literacy in America is not the highest, especially amongst young men, especially amongst young men of color. It's something that we've all been working very hard on, and my job is not to sort of critique or judge that. My job is to do something to help that, and to know you can finish this in 45 minutes means the world to me, so that we can get more young people reading it and thinking and having discussion about what this book is actually about.
Kalau membaca artikel BookRiot yang berjudul Getting Boys to Read with Long Way Down By Jason Reynolds ini, sepertinya harapan Reynolds yang dipaparkannya dalam jawaban di atas sedikit-banyak telah terwujud ya.

***

Pada akhirnya, aku akan merekomendasikan Long Way Down untuk pembaca yang mencari buku singkat, padat tapi tetap penting dan berkesan ketika dibaca. Kalau kau merupakan pembaca yang menyukai novel debut Angie Thomas, The Hate You Give, aku rasa kau juga akan menikmati kisah yang ditawarkan Long Way Down.

Tulisan Lain Dalam Kiriman Ini/Bacaan Lanjutan


Rating

4,5/5 

Farah di tempat lain: Goodreads | Instagram | Twitter


Share:

Posting Komentar

Halo! Tidak perlu segan atau ragu kalau ingin meninggalkan komentar ya. Aku tidak pernah bosan mencari rekomendasi buku baru dan teman diskusi. Aktifkan notify me/beritahu saya supaya kamu tahu ketika komentarmu dibalas. Aku selalu senang ketika kita bercakap-cakap tentang buku dan kegiatan baca-membaca 😄

Designed by OddThemes | Distributed by Blogger Themes